TEMPO.CO, Jakarta - Audit investigasi kasus PT Asuransi Jiwasraya oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah dimulai. Para pengawas lembaga keuangan dan badan usaha milik negara turut menjadi sasaran pemeriksaan.
Dalam konferensi pers bersama Jaksa Agung Republik Indonesia Sanitiar Burhanuddin, Rabu 8 Januari 2020, Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan bahwa audit ini merupakan lanjutan dari dua pemeriksaan BPK sebelumnya. Pada 2016, auditor negara hanya memelototi laporan keuangan Jiwasraya tahun buku 2014-2015.
Dari situ, terungkap 16 temuan pengelolaan investasi yang tidak sesuai dengan ketentuan, berisiko tinggi, dan berpotensi merugikan perseroan. Setahun belakangan, BPK menggeber investigasi pendahuluan (preliminary audit) setelah kasus gagal bayar terhadap nasabah JS Saving Plan, produk investasi berbalut asuransi Jiwasraya, mencuat ke publik.
Pada 2018, klaim yang gagal dibayar Jiwasraya mencapai Rp 802 miliar. Bukan hanya Saving Plan, polis produk reguler pun terancam gagal bayar lantaran kas perusahaan tak mencukupi. Hingga akhir tahun lalu, nilai klaim jatuh tempo yang tertunggak mencapai Rp 12,4 triliun. Tingkat kemampuan modal Jiwasraya untuk menutup kerugian jatuh ke level minus 850 persen dari batas kesehatan perusahaan asuransi 120 persen.
Makin lama, makin terang pula jatuhnya Jiwasraya bukan soal kesalahan investasi belaka. Dalam bahasa Agung Firman, “Persoalannya lebih kompleks dari yang dibayangkan.” Menurut dia, kasus ini bisa berdampak sistemik karena transaksinya menyangkut 17 ribu investor dan 7,7 juta nasabah.
Menguak masalah Jiwasraya memang tidak bisa sepotong-sepotong. Perusahaan ini terpuruk sejak 2002 lantaran krisis keuangan. Saat itu, seluruh kegiatan operasional masih dilakukan secara manual. Enam tahun berselang, perseroan dinyatakan bangkrut dengan gap antara likuiditas dan kewajiban klaim serta operasional mencapai Rp 6,7 triliun.
Sofyan Djalil, Menteri Badan Usaha Milik Negara saat itu, menunjuk Hendrisman Rahim dan Hary Prasetyo sebagai Direktur Utama dan Direktur Keuangan Jiwasraya—keduanya dicekal dalam kasus ini. Tugas pertama mereka merestrukturisasi keuangan Jiwasraya, yang disambut permintaan penyertaan modal negara dari jajaran direksi. Opsi ini ditolak pemerintah. Jiwasraya pun mengajukan permintaan pinjaman melalui surat utang zero-coupon bond. Namun langkah ini pun mental.
Perseroan lantas menerbitkan reksa dana penyertaan terbatas dan melakukan reasuransi selama tiga tahun. Saat reasuransi dihentikan, Jiwasraya merevaluasi sejumlah aset propertinya berupa perumahan warisan Belanda. Namun imbal hasil dari penyewaan properti ini hanya 0,6 persen, kelewat kecil untuk menutup lubang di modal perseroan.